Ruang Di Antara Pikiran

Ada tempat aneh yang belakangan ini sering kudatangi.
Tempat itu tidak ramai. Tidak berkilau. Tidak menawarkan apa-apa.
Ia juga tidak menuntut usaha, performa, atau kredensial apa pun.
Sebaliknya, ia hanya menunggu—dalam hening, dalam sabar, di ruang yang sering disebut orang sebagai “tidak ada.”

Ia hidup di antara pikiran.

Ruang nyaris tak terlihat, tempat pikiran terakhir memudar,
sementara yang berikutnya belum datang.
Banyak orang melewatinya begitu saja,
karena diam terasa canggung,
dan tidak melakukan apa pun terasa seperti kegagalan.

Namun, bagaimana kalau justru di situlah kebenaran mulai bernapas?

Dulu, aku mencoba menemukan kejelasan dengan berpikir lebih keras.
Aku menumpuk lebih banyak buku, lebih banyak suara, lebih banyak kerangka.
Kupikir, Tuhan bersembunyi di balik jawaban yang belum kutemukan.

Tapi suatu hari, aku terlalu lelah untuk mengejar apa pun.
Akhirnya aku berhenti.
Aku duduk. Aku menarik napas.
Dan dalam jeda yang kecil dan tak spektakuler itu,
ada sesuatu di dalamku yang melunak.

Tak ada suara mengguntur.
Tak ada wahyu spektakuler.
Namun ada damai.
Dan tiba-tiba aku sadar: damai itu sudah ada sejak awal.
Bukan di dalam pikiranku.
Bukan dalam momen ‘terobosan’.
Melainkan di ruang di antaranya.

Terlalu sering, kita memperlakukan keheningan seperti halaman kosong yang harus segera diisi—
celah yang harus ditutup,
atau kecanggungan yang harus dihilangkan.

Padahal, ruang di antara pikiran itu bukanlah kehampaan.
Justru di situlah kelimpahan tinggal.
Kelimpahan untuk berhenti.
Kelimpahan napas yang tak butuh penjelasan.
Kelimpahan Hadirat yang tak perlu berteriak,
karena Ia tahu bahwa kehadiran-Nya sudah cukup.

Secara pribadi, aku percaya Tuhan senang berdiam di sana—
bukan di puncak bangunan teologis kita,
melainkan di embusan napas yang lembut di antara pertanyaan.

Jadi, jika pikiranmu terasa terlalu bising,
atau doamu terasa kusut,
mungkin kamu tidak butuh lebih banyak kata.
Mungkin kamu hanya butuh lebih banyak ruang di sekelilingnya.

Maka jangan takut pada keheningan.
Itu bukan ketiadaan Tuhan.
Malah bisa jadi, itulah pertama kalinya Ia akhirnya didengarkan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *